Kekerasan tidak saja berarti serangan fisik terhadap seseorang atau perusakan terhadap milik seseorang, tetapi juga meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya dan mengembangkan pribadinya. Demikian menurut Johan Galtung sebagaimana dikutip oleh Guru Besar Sosiologi Prof. Dr. Nasikun.
Di dalam pengertian yang sempit kekerasan mengandung makna sebagai “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang”.
Dalam pengertian yang lebih luas, kekerasan meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk merealisasikan potensi dirinya (self-realization) dan mengembangkan pribadinya (personal growth), yang merupakan dua jenis hak dan nilai manusia yang paling azasi. Adalah suatu kekerasan apabila tindakan seseorang atau sekelompok orang akhirnya mempengaruhi sedemikian rupa secara fisik dan/atau mental proses pengembangan diri dan pribadi seseorang sehingga di bawah realisasi potensialnya.
Dari uraian singkat ini dapat diketahui bahwa dalam arti luas, kekerasan tidak hanya meliputi dimensi fisik, akan tetapi juga dimensi yang bersifat psikologis. Dengan kata lain, tindak kekerasan tidak hanya meliputi pencurian, perampokan, penganiayaan dan pembunuhan, akan tetapi juga kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan, dan sejenisnya, yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir seseorang. Rekayasa bahasa melalui penggunaan kalimat-kalimat pasif di dalam pernyataan-pernyataan politik para pejabat penyelenggara negara, merupakan contoh yang menarik.
Di dalam artikelnya, “On the Social Cost of Modernization: Social Disintegration, Anomie and Social Development“, Johan Galtung (1996) membedakan delapan jenis tindak kekerasan yang semakin menjadi ancaman manusia, (sebagaimana dikutip Nasikun), sebagai berikut.
- Kekerasan terhadap alam, yang disebut sebagai ecological crime
- Kekerasan terhadap diri sendiri, seperti stress, bunuh diri, alkoholisme, dan sejenisnya
- Kekerasan terhadap keluarga, seperti child abuse dan woman abuse, yang dilakukan melalui pengungkapan fisik maupun verbal
- Kekerasan terhadap individu, seperti pencurian, perampokan, perkosaan, dan pembunuhan
- Kekerasan terhadap organisasi, yang di dalam pengungkapannya dapat berupa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan
- Kekerasan terhadap kelompok, meliputi berbagai bentuk kekerasan antar-kelompok, antar-kelas, atau antar-bangsa
- Kekerasan terhadap masyarakat, berupa perang dan penindasan antar-bangsa atau antar-negara, dan
- Kekerasan terhadap dunia lain, berupa kekerasan antar-planet.
Kekerasan nomor tiga sampai dengan enam dalam sistem pencatatan dan pelaporan nasional dikenal sebagai tindak kejahatan.
Sosiologi Kekerasan
Menurut Galtung, kekerasan merupakan antitesis dari konsep perdamaian. Sebagian ahli menyatakan bahwa kekerasan merupakan hal yang tumbuh “secara alamiah” yang bersumber dari keadaan alamiah sosok manusia sebagai “homo homini lupus“.
Mengikuti konsep Galtung, Dr. Nasikun menyatakan bahwa ada hubungan antara kekerasan personal dengan kekerasan struktural. Memang, dua jenis kekerasan itu secara empirik dapat berdiri sendiri-sendiri, tetapi keduanya cenderung memiliki hubungan yang dialektis. Di dalam situasi struktur sosial atau kekuasaan masyarakat menghadapi ancaman yang besar, mereka yang oleh karena kekuasaan memperoleh keuntungan-keuntungan dari penggunaan kekerasan struktural, pada umumnya akan berusaha mempertahankan “status quo” melalui kekerasan struktural. Demikian juga, seorang individu, dengan melakukan kekerasan personal akhirnya dapat meraih kekuasaan.
Kekerasan dan Kekuasaan
Kekerasan sering digunakan untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Galtung membedakan tiga jenis kekuasaan, yaitu: (1) ideologis, (2) remuneratif, dan (3) punitif.
Kekuasaan jenis pertama memiliki sumber legitimasi dari dalam kepribadian atau kharisma seorang pemimpin yang menjadikannya dia sebagai penguasa (power-sender). Pemimpin demikian memiliki kemampuan persuasi untuk menguasai, mempengaruhi gagasan dan kesadaran mereka yang berada di bawah kepemimpinannya (power recipients).
Kekuasaan jenis kedua bersumber dari kemampuannya untuk memberikan ganjaran berupa barang-barang, kemakmuran, jabatan, atau bentuk-bentuk kemaslahatan yang lain.
Kekuasaan jenis ketiga bersumber dari kemampuannya untuk memberikan sanksi berupa penderitaan (nestapa), Galtung menyebutnya sebagai kejahatan, terhadap mereka yang berada di bawah kekuasaanya.
Oleh karena sumbernya berbeda-beda, maka kekuasaan ideologis memproduksi kepatuhan, kekuasaan remuneratif memproduksi ketergantungan, dan kekuassaan punitif memproduksi rasa takut, maka jenis kekerasan yang dihasilkan apabila –misalnya– harus mempertahankan kekuasaan, pun berbeda-beda.
Kekuasaan ideologis menggunakan kekerasan psikologis, melalui indoktrinasi dan berbagai rekayasa pemikiran, jenis kedua akan menggunakan kekerasan psikologis dan fisik, misalnya penurunan jabatan, pemecatan, berbagai bentuk korupsi, kolusi, dan lain-lain, sedangkan kekuasaan jenis ketiga, akan menggunakan kekerasan fisik dan psikologis melalui penyiksaan, penganiayaan, ancaman, tekanan,dan sejenisnya.
referensi :
http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/12/13/kekuasaan-dan-kekerasan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar